yurisprudensi hukum keluarga/perceraian

1. Seorang istri nikah lagi dalam masa iddah Dalam kenyataan masyarakat, janda-janda yang masih dalam waktu masa iddah tergesa-gesa kawin lagi dengan tidak menunggu habisnya masa iddah. janda yang sedang hamilpun demikian menunggu habisnya masa iddahnya, yang dihitung mulai dari sejak kelahiran anaknya. Pembatalan perkawinan karena nikahnya dilakukan dalam waktu iddah terdapat dalam putusan Mahkamah Islam Tinggi 17 Mei 1939 Nomor 10 yang menetapkan surat keptusan pengadilan agama yang dimohonkan pemeriksaan banding penghulu nikah yang menyelenggarakan nikah ini kurang teliti dan percaya apa saja yang dikatakan oleh seorang wanita yang menerangkan bahwa ia masih gadis. kemudian baru diketahui bahwa mempelai wanita itu sebenarnya sudah janda dan iddahnya pada waktu nikah belum habis. 2. Seorang wanita yang bersuami menikah lagi dengan laki-laki lain. meskipun hukum syariah islam melarang seorang wanita yang masih mempunyai suami kawin lagi;dalam praktek sering terjadi. Pengadilan Agama Tuban dengan putusannya 12 Juni 1961 nomor 62 telah membatalkan perkawinan wanita hamil. seorang wanita r telah ditalaq oleh suaminya B, pada tanggal 18 Nopember 1960, dan nikah lagi dengan laki-laki bernama D pada tamggal 19 februari 1961. pernikahan dilakukan dengan wali hakim, karena bapak wanita itu sudah wafat dan pada waktu nikah ia mengatakan bahwa ia tidak hamil. tetapi ternyata pada tanggal 25 Juni 1961, jadi 4 bulan kemudian ia melahirkan anak. Pengakuannya adalah bohon

2 comments:

  1. Mengenai hibah diatur dalam Pasal 1666 – Pasal 1693 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”).


    Pengertian hibah terdapat dalam Pasal 1666 KUHPer, yaitu suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.


    Untuk itu, hibah tidak dapat dicabut dan tidak dapat dibatalkan oleh orang tua tersebut, kecuali dalam hal-hal berikut sebagaimana terdapat dalam Pasal 1688 KUHPer:

    1. jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah;

    2. jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah;

    3. jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi nafkah kepadanya.


    Selain itu, berdasarkan Pasal 916a sampai Pasal 929 KUHPer untuk kepentingan kewarisan, benda yang telah dihibahkan dapat “diperhitungkan kembali” nilainya ke dalam total harta peninggalan seolah-olah belum dihibahkan. Ketentuan ini berkaitan dengan legitime portie, yaitu bahwa jangan sampai hibah yang dahulu pernah diberikan oleh pewaris, mengurangi bagian mutlak yang seharusnya dimiliki oleh ahli waris.


    Berdasarkan Pasal 920 KUHPer, ahli waris dapat melakukan tuntutan pengurangan terhadap hibah dalam hal bagian mutlak yang seharusnya para ahli waris terima tidak terpenuhi. Jika benda tersebut telah berada pada kekuasaan pihak ketiga, para ahli waris tetap memiliki hak untuk melakukan tuntutan pengurangan atau pengembalian benda tersebut (Pasal 929 ayat (1) KUHPer). Hak untuk memajukan tuntutan ini akan gugur setelah lewat waktu 3 (tiga) tahun sejak para ahli waris menerima warisan (Pasal 929 ayat (4) KUHPer).


    Oleh karena itu ahli waris boleh mengajukan tuntutan pengurangan atau pengembalian benda yang telah dihibahkan kepada salah satu ahli waris dalam hal legitime portie (bagian mutlak) para ahli waris tidak terpenuhi.


    Salah satu contoh dalam kasus ini dapat kita lihat dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 841K/Pdt/2003. Dalam perkara tersebut, akhirnya hakim menghukum untuk mengembalikan hibah untuk pemenuhan legitime portie terlebih dulu kepada para ahli waris. Putusan tersebut kemudian dikuatkan di tingkat kasasi.


    Tetapi, karena Anda mengatakan bahwa hibah tersebut diberikan kepada ahli waris, Anda harus mengetahui bahwa ada pengaturan lain mengenai hibah kepada ahli waris. Anda tidak menyebutkan apakah ahli waris ini adalah ahli waris garis lurus ke bawah atau ahli waris lainnya (misalnya ahli waris karena surat wasiat atau saudara sebagai ahli waris).


    Perlu Anda ketahui bahwa berdasarkan Pasal 1086 KUHPer, jika penerima hibah adalah ahli waris dalam garis lurus ke bawah, maka apa yang telah diterima sebagai hibah dari pewaris, harus dimasukkan kembali ke dalam harta peninggalan, kecuali ditentukan dengan tegas dibebaskan dari kewajiban pemasukkan tersebut. Sedangkan jika penerima hibah adalah ahli waris bukan ahli waris garis lurus ke bawah, maka pemasukkan tersebut tidak perlu dilakukan, kecuali dengan tegas pewaris memerintahkan penerima hibah untuk melakukan pemasukan.

    ReplyDelete
  2. Sita marital memang menjadi salah satu persoalan yang sering muncul di pengadilan, bahkan menimbulkan perdebatan. Apalagi kalau permohonan sita marital itu menyangkut pesohor.


    Secara sederhana, sita marital disebut juga sebagai sita harta bersama, bahkan istilah terakhir ini menurut Abdul Manan (2005) lebih layak digunakan. Permohonan sita marital, karena itu, mengandung arti pula sebagai permohonan agar diletakkan sita terhadap harta bersama. Mengenai hakikat dan tujuan sita harta bersama itu, Anda bisa membaca artikel klinik di hukumonline berjudul ‘Tentang Sita Marital (Sita Harta Bersama)’. Anda bisa juga baca kasus yang relevan dalam putusan Mahkamah Agung.


    Pertanyaan Anda lebih spesifik mengenai boleh tidaknya memohonkan sita marital terhadap harta warisan. Untuk menjawab pertanyaan itu, pertama-tama perlu dijawab siapa yang berhak memohonkan sita demikian dan kapan bisa diajukan.


    Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan (Buku II), yang diterbitkan Mahkamah Agung (2009) dijelaskan sita harta bersama dimohonkan oleh pihak suami atau pihak isteri terhadap harta perkawinan baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Tujuannya sebagai jaminan agar pemohon memperoleh bagian dan harta tersebut tidak dialihkan kepada pihak ketiga.


    Dalam proses perceraian, upaya menjaga harta bersama dan harta bawaan penting agar jangan sampai terlantar. Jangan sampai pula gara-gara proses perceraian itu, harta kekayaan keluarga menjadi merugikan suami atau isteri dan anak-anak mereka (Sudarsono, 2005: 175-176).


    Tetapi dalam buku Pedoman tadi disebutkan permohonan sita marital tak harus selalu dalam rangka perceraian. Bisa juga dimohonkan jika suami atau isteri melakukan ‘tindakan yang mengarah pada pengalihan harta bersama’.


    Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan penggugat atau tergugat dapat meminta pengadilan untuk ‘menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri’ (Pasal 24 ayat 2 huruf c).


    Permohonan sita dapat juga dilakukan di luar proses perceraian, dan itu dimungkinkan. Pasal 186 KUH Perdata menyebutkan ‘sepanjang perkawinan’ setiap isteri berhak memajukan tuntutan kepada hakim akan pemisahan harta kekayaan’ dalam hal tertentu misalnya karena suaminya sangat boros.


    Hal kedua yang penting untuk dijawab adalah apa saja objek yang dimohonkan sita, dalam hal ini bolehkah harta warisan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memaknai apa saja yang masuk kualifikasi harta bersama. Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), yang masuk kualifikasi harta bersama adalah ‘harta benda diperoleh selama perkawinan’.


    Di sini jelas, harta warisan tidak termasuk harta bersama. Tetapi Undang-Undang tetap memungkinkan harta bersama menjadi harta bersama sepanjang disepakati dan diperjanjikan kedua belah pihak. Ini bisa dibaca dari rumusan pasal 35 ayat (2) UUP: “Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.


    Jadi, boleh tidaknya meminta sita marital terhadap harta warisan, sangat tergantung pada status harta waris tersebut. Jika tak masuk harta bersama, maka sulit untuk membenarkan permohonan sita marital terhadap harta warisan. Apalagi UU Perkawinan sudah tegas menyebut suami atau isteri ‘mempunyai hak sepenuhnya’ atas harta bawaan masing-masing, termasuk warisan (Pasal 36 UUP). Tetapi ada kemungkinan atau peluang meminta sita marital atas harta waris jika suami dan isteri sudah menentukan sejak awal harta bawaan mereka masuk sebagai harta bersama.


    Meskipun demikian, keputusan akhir boleh tidaknya mengajukan sita marital terhadap harta warisan sangat tergantung pada putusan hakim.

    ReplyDelete